The RK Official Website

15 Agu 2016

Sejarah Desa Bungo pada Abad ke-20

Sejarah desa Bungo dimulai sejak akhir abad ke-16 yaitu ketika terjadi pendangkalan selat Muria, sebuah laut dangkal yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Muria.
Sekitar tahun 1600 laut dangkal itu berubah menjadi rawa-rawa dan sebagian sudah menjadi daratan yang digunakan untuk tempat tinggal dan lahan pertanian.

Abad ke-20 bagi penduduk Desa Bungo adalah masa perbaikan kehidupan secara berarti.
Pada abad sebelumnya; mereka mengalami penderitaan berat akibat sistem tanam paksa dan kerja paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Latar belakang

Penjajah Belanda hampir mengalami kebangkrutan ekonomi setelah menghadapi kerasnya Perang Paderi (1803-1938), Perang Diponegoro (1825-1930), dan Pemberontakan Belgia (1930-1931).

Untuk mengatasi masalah itu maka Gubernur Jenderal van den Bosch menerapkan kerja paksa dan tanam paksa di tanah jajahan, terutama pulau Jawa.
Beberapa saksi sejarah menceritakan bahwa sekitar 20% lahan persawahan di desa Bungo itu digunakan untuk perkebunan tebu untuk kepentingan ekspor gula penjajah Belanda.

Kedua program itu berhasil memulihkan keuangan kerajaan Belanda, namun hal itu mengakibatkan kehidupan kaum pribumi semakin berat yang berakhir pada kelaparan dan kematian.

Beberapa tokoh di negeri Belanda, seperti Eduard Deuwes Dekker dan Conrad van Deventer, - mereka menceritakan penderitaan kaum pribumi Jawa dan meminta kerajaan Belanda agar memberikan balas budi kepada tanah jajahan, terutama Jawa.

Masa Penjajahan Belanda
Era Politik Etis (1901-1942)

Pada tahun 1901; Ratu Wilhelmina atau "Helmina"mengumumkan bahwa Kerajaan Belanda bersedia memberikan balas budi atas hasil yang diterima dari tanah jajahan.

Beberapa program politik etis antara lain: pembangunan jalan dan jembatan, pembangunan saluran irigasi, pendirian sekolah untuk pribumi dan migrasi (sekarang: transmigrasi).

Jalan-jalan yang dibangun di sekitar desa Bungo antara lain: jalan raya Wedung - Bungo dan jalan raya Bungo - Mutih.
Permukaan jalan masih berupa tanah keras dan belum diaspal.

Pengerukan Kali Wulan sebagai banjirkanal

Untuk mencegah banjir meluap di kota Kudus maka pemerintah kolonial Belanda membangun saluran baru selain kali Serang. Hal ini karena kota Kudus yang sudah menjadi pusat perdagangan regional sejak era Majapahit.

Kali Bungo yang dahulu hanyalah kali kecil terbentuk secara alami kemudian dilebarkan dan digunakan untuk saluran pembuangan air banjir dari kota Kudus.
Kali yang membelah desa Bungo itu dipandang lebih pendek, lebih rendah dan lebih cepat membuang air ke laut daripada Kali Serang.
Kali banjirkanal itu juga diberi tanggul pada kanan dan kirinya, dan kali itu menjadi saluran perpanjangan dari hulu, yaitu Kali Wulan.


Proyek pengerukan Kali Wulan, sekitar 1915-1920
Pembangunan Jembatan Bungo Pertama

Pada perang kemerdekaan, jembatan itu dibom oleh tentara Indonesia sendiri (BKR) untuk kepentingan pertahanan.
Sampai tahun 2008 fundamen jembatan Bungo pertama masih tampak bisa dilihat namun kemudian terkubur oleh jembatan Bungo seri keempat.

Pemetakan sawah-sawah dan penggalian saluran irigasi kecil juga dibangun pada masa Hindia Belanda.

Sekolah rakyat (sekarang SD Bungo 1) sudah berdiri sejak era penjajahan Belanda, sekolah itu menerima beberapa siswa dari luar desa Bungo tetapi anak-anak dari Bungo sendiri enggan masuk ke sekolah tersebut.

Pembangunan desa Bungo pada masa politik etis berhenti total karena pemerintah kolonial juga terpengaruh oleh depresi ekonomi dunia pada tahun 1930an.

Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)

Pada perang di Laut Jawa pada tahun 1942, pasukan Jepang berhasil mengalahkan pasukan Sekutu.
Dan dengan kemenangan itu maka Jepang akhirnya berhasil menduduki Indonesia.
Penjajah baru itu ternyata lebih kejam daripada penjajah sebelumnya, mereka tidak hanya menyedot ekonomi saja tetapi juga berusaha merusak kehidupan beragama penduduk pribumi.

Saksi sejarah menceritakan bahwa beberapa orang penduduk desa Bungo dipilih oleh Jepang untuk ikut kerja paksa, dan kemungkinan dikirim ke Burma atau negara Indochina lainnya.

Masa Perang kemerdekaan (1945-1949)

Sesudah penyerahan Jepang, maka Belanda hendak merebut kembali koloninya yang direbut Jepang.
Dalam agresi militer Belanda, wilayah desa Bungo juga dijadikan medan perang antara tentara Belanda dan BKR.
Beberapa jenazah pejuang yang wafat dikumpulkan di perempatan desa Bungo untuk keperluan evakuasi.
Perang kemerdekaan berhenti pada tahun 1949 setelah konferensi meja bundar 27 Desember 1949.

Masa Orde Lama (1949-1967)

Pada masa ini; pemerintahan yang baru itu ternyata tidak stabil dan hampir tak ada pembangunan yang berarti.

Pada tahun 1959; presiden Sukarno membuat peraturan presiden bahwa; pedagang etnis Tionghoa harus keluar dari desa-desa dan memindahkan usahanya di kota. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pedagang pribumi yang kalah bersaing dengan mereka.
Beberapa pedagang etnis Tionghoa yang berdagang di jalan raya Bungo lama (sekarang Jalan Kiyai Nawawi) meninggalkan desa ini dan tak pernah kembali. Saksi sejarah menceritakan bahwa di desa Bungo dulu juga ada kuburan Tionghoa di kawasan barat perkampungan Bungo kidul, namun sekarang sudah rata dengan tanah.
Komplek pertokoan di tepi timur jalan raya Bungo; di atas saluran irigasi itu dahulu merupakan dermaga perahu nelayan.

Industri petasan sudah berkembang sejak era ini dan produk-produknya telah dikirim ke beberapa kota seperti Semarang dan Surabaya.

Pembantaian Anggota Komunis 1965

Seperti daerah-daerah di Indonesia lainnya; pembantaian anggota komunis juga ada di desa Bungo.
Massa dari desa Babalan merangsek dalam pengejaran ini dan sekitar lima sampai sepuluh orang menjadi target pembantaian itu.

Masa Orde Baru (1967-1998)
Jalan raya Bungo yang baru (kiri) dan yang lama (kanan)

Datangnya pemerintahan yang baru ditandai dengan pemindahan jalan raya Bungo dari jalan Kauman ke jalan raya di tepi barat seperti sekarang. Pemindahan jalan utama ini diikuti hilangnya pasar sore dari jalan raya lama.

Nelayan yang mencari ikan di laut Jawa sudah mulai menggunakan perahu mesin sejak tahun 1970-an.
Mereka mencari udang lezat dan besar untuk dijual kepada pengepul dan kemudian diekspor.

Pendirian sekolah-sekolah yang baru banyak diadakan pada era 1980an. Dari TK Budi Santoso, SD Negeri Bungo 3, SMP Negeri Wedung sampai SMA Islam Robin.

Sekolah Raudlotut Tholibin, sejak 1984





Banjir di perkampungan akibat meluapnya Kali Wulan yang terjadi sampai tahun 1980-an diantisipasi dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran yang meliputi Pengerukan Kali Wulan yang sudah mulai dangkal, peninggian tanggul Kali Wulan di kanan dan kirinya, pembangunan jembatan Bungo yang kedua kalinya dan pembangunan jaringan irigasi tersier dari waduk Kedungombo dilakukan pada tahun 1986-1990.

Proyek pavingisasi jalan gang-gang kampung di desa Bungo dilakukan secara massif sejak awal tahun 1990-an. Jalan gang-gang kampung yang dulunya berbahan material karang dari dasar laut itu digantikan material beton. Dan pavingisasi itu mengambil dana dari kas desa.

Jalan raya Bungo - Mutih dilapisi aspal untuk pertama kali pada tahun 1990, sedangkan jalan raya Bungo - Jetak, Jalan raya Bungo - Tempel dan jalan raya Bungo - Menco yang statusnya adalah jalan inspeksi Kali Wulan juga diaspal untuk transportasi publik.

Masa Reformasi (1998-2000)

Pada akhir 1999 terjadi unjuk rasa petani Bungo Lor karena banjir besar di lahan pertanian tak kunjung surut. Banjir itu diakibatkan proyek alihfungsi lahan sawah bondo desa Bungo menjadi pertambakan minapadi yang berasal dari prakarsa beberapa petani Jawa Timur.
Mereka menuntut kepala desa dan beberapa anggota LKMD untuk mengundurkan diri.
Protes itu juga disertai aksi perusakan rumah para pejabat yang bertanggungjawab atas proyek itu.

Sejarah desa Bungo relatif hampir sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Desa ini tidak luput dari pengaruh pemerintahan pusat sejak era kolonial Belanda sampai pemerintahan republik sekarang ini.

Daftar kepala desa Bungo:
- Wongso
- Sarjan
- H. Baidlowi (1942-1945)
- Delimo
- Mas'ud
- Soeyitno (1973-1989) 2 periode
- Abdul Rosyid (1989-1998)
- Maskomar (1999-2000)
- (Plt) Suratin (2000-2002)
- Khoirul Anam (2002-2009)
- Imam Wahyudi (2009-2016)
- (Plt.) Nugroho (2017)

Tidak ada komentar: